Senin, 11 Februari 2013

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ( AMDAL )

Apa yang dimaksud dengan AMDAL?
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
“…kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat pada tahap perencanaan…”
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen AMDAL terdiri dari :
  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.
Apa guna AMDAL?
  • Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
  • Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
“…memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif”
“…digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan”
Bagaimana prosedur AMDAL?
Prosedur AMDAL terdiri dari :
  • Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
  • Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
  • Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
  • Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Siapa yang harus menyusun AMDAL?
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.
Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL?
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL ?
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
  • Identitas pemrakarsa
  • Rencana Usaha dan/atau kegiatan
  • Dampak Lingkungan yang akan terjadi
  • Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara
Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya ?
AMDAL-UKL/UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib
Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat “memperbaiki” ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.
Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.

PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN


Skema Proses Perencanaan Pembangunan

Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam WorldConservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WorldCommission on Environment and Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
 
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our CommonFuture” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefi nisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting.
 

Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
 
Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan dating untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
 
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa menyampaikan bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan bagi dilaksanakannya suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Selanjutnya pada era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat. Tahapan-tahapan ini digambarkan sebagai evolusi konsep pembangunan berkelanjutan, seperti dalam Gambar 1 berikut ini.

Indikator / Kriteria Pembangunan Berkelanjutan
0 Januari 2009 pukul 1Phase 1 Phase 2 Phase 3
Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut diatas, yaitu aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future: Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Keberlanjutan Ekologis
2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
4. Keberlanjutan Politik
5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
 
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
  • pro lingkungan hidup;
  • pro rakyat miskin;
  • pro kesetaraan jender;
  • pro penciptaan lapangan kerja;
  • pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
  • harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing tolok ukur.
 
Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
  • Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi.
  • Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinyaserta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources).
  • Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
  • Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HumanDevelopment Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.
 
Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih banyak membukakesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalamarus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapatdiukur dengan menggunakan Gender-related.Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah.Jika nilai GDI mendekati HDI, artinyadi daerah tersebut hanya sedikitterjadi disparitas jender dan kaumperempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan.
 
 
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini
 
 
Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena pembangunanberkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsaIndonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.
 
Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikanserta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKNyang digaungkan di daerah bersangkutan.Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan denganbuah pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo (2005),dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuktercapainya proses pembangunan berkelanjutan (Tabel1). Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi dalam 3 indikator utama, yaitu:
  1. Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
  2. Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
  3. Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan
Budimanta (2005) menyatakan, untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
 
  1. Cara berpikir yang integratif. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
  2. Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yangbanyak mendominasi pemikiran para pengambilkeputusan dalam pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini sering kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan implikasi padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjiryang semakin sering melanda dan dampaknya yangsemakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telahmenjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalamkondisi surplus energi), moda transportasi yang tidakberkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,dan seterusnya.
  3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
  4. Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi 
     
Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan
 
Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya. Menurut Budimanta (2005), bila kita membandingkan wajah kota Jakarta dengan beberapa kota di Asia maka akan terlihat kontras pembangunan yang dicapai. Singapura telah menjadi kota taman, Tokyo memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkok sudah berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengan menyediakan ruang yang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda transportasinya. Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara pandang pembangunan konvensional yang melihat pembangunan dalam konteks arsitektural, partikulatif dalam konteks lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara pandang pembangunan berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga didapatkan kondisi ruang kota yang lebih nyaman sebagai ruang hidup manusia di dalamnya.
 
 
Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi di Indonesia adalah konfl ik antar pelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat. Konfl ik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konfl ik yang sangat tajam; proyek “urban renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”; fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang. Terkait dengan berbagai konfl ik tersebut, maka beberapa usulan yang diajukan Budihardjo (2005) untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang, antara lain:
  1. Orientasi jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangkapendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan pada pelaksanaan atau action oriented plan.
  2. Penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagi berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan.
  3. Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model advocacy, participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuendan konsisten.
  4. Perlu peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai forum pertemuan/diskusi/ceramah/publikasi, baik secara formal maupun informal.
  5. Perlu adanya perhatian yang lebih terhadap kekayaan khasanah lingkungan alam dalam memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efi sien.
  6. Keunikan setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social workof art dapat terejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki jati diri. Fenomena globalization withlocal fl avour harus dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang. Disamping enam usulan tersebut tentunya implementasi indikator-indikator pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalam sedikitnya 3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi dasar pertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang kota/wilayah.
 sistem wilayah pembangunan

Ruang Lingkup:
a. Penataan Ruang Wilayah dan Sistem Spasial
b. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah Pedesaan dan Perkotaan
c. Optimalisasi Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya untuk Penciptaan Keunggulan Komparatif da Kompetitif
d. Sistem Kelembagaan dan Tenaga Ahli tentang Spasial Manajemen Pengembangan Wilayah

VISI :
Menjadi pusat pengkajian terkemuka di bidang ilmu-ilmu kewilayahan, perencanaan wilayah, pengembangan wilayah dan sistem informasi wilayah, dengan kompetensi utama sistem-sistem wilayah tropika kepulau, negara-negara berkembanga, pertaian dan perdesaan yang menjadi rujukan nasional maupun internasional

MISI :    Melaksanakan proses pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu kewilayahan
    Memfasilitasi dan mengembangkan proses akademik program-program pendidikan yang berkaitan dengan ilmu kewilyahan
    Menyebarluaskan produk-produk kajian kewilayahan dlam bentuk publikasi, seminar dan lokakarya secara berkala
    Mengembangkan pangkalan akumulasi data, informasi dan model-model hasil kajian kewilayahan dalam bentuk sistem informasi wilayah
    Mengembangkan jaringan kemitraan antar berbagai pihak yang berkepentingan dengan pengembangan ilmu dan kepakaran bidang kewilayahan, perencanaan wilayah, pengembagnan wilayah dan sistem informasi wilyah

Divisi
    Pengembangan Sumberdaya Manusia Perencana
    Ekonomi Wilayah, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
    Sistem Informasi Wilayah
    Perencanaan dan Pengembangan Masyarakat

 http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=123
http://septiadarmaluthfa.blogspot.com/2012/11/skema-proses-perencanaan-pembangunan.html

Peraturan Terkait Pembangunan

Pembangunan adalah suatu hal yang kompleks karena menyangkut berbagai macam bidang seperti perencanaan,tata ruang,konstruksi dsb. Untuk itu peraturan yg menyangkut pembangunan pun akan terbagi-bagi dalam beberapa bagian yg lebih kecil,misalnya peraturan tentang perumahan,tentang konstruksi,tentang tata ruang hingga tentang bangunan tahan gempa mengingat kondisi wilayah Indonesia yg rawan gempa.

Peraturan yg ada pun dikeluarkan oleh pihak-pihak yg berbeda mulai dari undang-undang,keputusan presiden (keppres),peraturan pemerintah (PP) hingga peraturan menteri pekerjaan umum.

Berikut ini adalah beberapa peraturan yang terkait dengan pembangunan :

  • UU NO 4 TAHUN 1992 tentang perumahan dan permukiman
  • UU NO 28 TAHUN 2002 tentang bangunan gedung. Pengaturan bangunan gedung bertujuan agar tercipta bagunan gedung yg fungsional,aman,nyaman dan sesuai hukum. Dalam undang-undang ini diatur mengenai berbagai persyaratan untuk bangunan gedung seperti keamanan,keselamatan,administratif,arsitektur,dsb
  • UU NO 26 TAHUN 2007 tentang penataan ruang
  • PP NO 36 TAHUN 2005 tentang peraturan pelaksanaan  UU NO 28 TAHUN 2002
  • PP NO 80 TAHUN 1999 tentang kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
  • KEPRES NO 63 TAHUN 2003 tentang badan kebijaksanaan dan pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman nasional.
Masih banyak lagi peraturan yg mengatur tentang pembangunan.

http://aiseta.multiply.com/journal

HUKUM PERBURUHAN

HUKUM PERBURUHAN
Pengaturan Hukum Perburuhan terdapat dalam undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Hukum perburuhan menurut Prof. Imam Supomo adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Unsur dari hukum perburuhan adalah:
· Serangkaian peraturan,
· Peraturan mengenai suatu kejadian,
· Adanya orang yang bekerja pada orang lain,
· Adanya balas jasa yang berupa upah.
Hubungan Kerja:
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan dengan pekerja/buruhnya.
Perjanjian tersebut tertulis.
Dasar perjanjian kerja :
1. Kesepakatan,
2. Kecakapan melakukan perbuatan hukum,
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan,
4. Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum & kesusilaan.
( Hal tersebut diatas sesuai dengan pasal 1320 BW )
Perjanjian Kerja Memuat:
Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha,
Identitas pekerja,
Jabatan dan jenis pekerjaan,
Tempat pekerjaan,
Besarnya upah,
Hak & kewajiban Pengusaha & Pekerja,
Jangka waktu berlakunya perjanjian tersebut,
Waktu & tempat perjanjian dibuat,
Tanda tangan para pihak.
Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu
Perjanjian tersebut harus tertulis,
Tidak disyaratkan adanya masa percobaaan,
Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu/musiman
Jangka waktunya paling lama 2 (tiga) tahun, dan dapat diperpanjang 1(satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Perjanjian Kerja Berakhir
Pekerja meninggal dunia,
Berakhir jangka waktu perjanjian,
Adanya putusan Pengadilan/putusan lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan,
Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Perlindungan, Pengupahan Dan Kesejahteraan
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak,
Pengecualian bagi anak yang berumur 13 th s.d 15 th melakukan pekerjaan ringan dengan syarat : paling lama 3 jam, izin dari orang tua, dilakukan siang hari tidak mengganggu waktu sekolah, menerima upah, keselamatan dan kesehatan kerja, ada hubungan kerja.
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00.
Waktu Kerja
Pengusaha wajib melakukan ketentuan waktu kerja yaitu :
7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu, apabila 6 hari kerja dalam 1 minggu,
8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu, apabila 5 hari kerja dalam 1 minggu,
Kelebihan jam kerja:
Adanya persetujuan pekerja/buruh,
Paling lama 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu,
Kelebihan jam kerja/lembur, Pengusaha wajib membayar upah lembur.
Besarnya upah lembur ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Cuti:
Pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada Pekerja/Buruh,
Waktu Istirahat antara jam kerja selama minimal ½ jam setelah bekerja 4 jam berturut2,
Istirahat mingguan adalah 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu dan 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu,
Cuti tahunan : minimal 12 hari, setelah Pekerja/Buruh bekerja selama 12 bulan berturut2,
Istirahat panjang minimal 2 bulan dan dilakukan pada tahun ke tujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi Pekerja/Buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut.
Cuti Lain:
Pengusaha wajib memberikan kesempatan kepada Pekerja yang melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya,
Pekerja/Buruh perempuan diberikan cuti haid pada hari pertama dan kedua,
Cuti Hamil di berikan kepada Pekerja/Buruh perempuan 1 ½ bulan sebelum melahirkan dan 1 ½ bula sesudah melahirkan,
Cuti Keguguran kandungan diberikan selama 1 ½ bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter.
Perlindungan Bagi Pekerja
Keselamatan dan kesehatan kerja,
Moral dan kesusilaan,
Perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Pengupahan
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha sesuai dengan perjanjian kerja.
Pekerja/buruh memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,
Upah yang diberikan kepada Pekerja harus sesuai dengan upah minimum,
Upah tidak dibayarkan apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan, kecuali :
a. Pekerja sakit,
b. Pekerja perempuan sakit pada hari pertama dan kedua masa haid,
c. Pekerja menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak dll,
d. Pekerja mejalankan tugas negara,
e. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agama,
f. Pekerja melaksanakan hak istirahat,
g. Pekerja melaksanakan tugas serikat pekerja,
h. Pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
· Upah dibayarkan kepada Pekerja Yang sakit adalah :
a. 4 bln pertama, dibayar 100% dari upah,
b. 4 bln kedua, dibayar 75% dari upah,
c. 4 bln ketiga, dibayar 50% dari upah,
d. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum PHK.
Pemutusan Hubungan Kerja adalah Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan Pengusaha. Apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, maka Pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak. ( sesuai dg pasal 156 UU No. 13 tahun 2003 )
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan alasan sbb :
Melakukan penipuan/penggelapan barang/ uang milik perusahaan,
Memberikan keterangan palsu,
Mabuk, menggunkan/mengdarkan narkoba atau lainnya,
Melakukan perbuatan asusila/perjudian,
Menyerang, mengancam, menganiaya teman/pengusaha,
Mempengaruhi teman/pengusaha untuk melakukan hal yang bertentangan dengan UU,
Merusak barang dalam keadaan bahaya,
Membocorkan rahasia perusahaan,
Melakukan tindakan lain yang membahayakan perusahaan.

HUKUM PERIKATAN

HUKUM PERIKATAN

Dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Dan sumber hukum perikatan adalah Perjanjian dan Undang - Undang.

Tiga hal yang harus diketahui dalam mendefinisikan suatu perjanjian:
- adanya suatu barang yang akan diberi
- adanya suatu perbuatan dan
- bukan merupakan suatu perbuatan

Dalam melakukan Perjanjian sah harus disyaratkan pada
- Bebas dalam menentukan suatu perjanjian
- Cakap dalam melakukan suatu perjanjian
- Isi dari perjajian itu sendiri
- Perjanjian dibuat harus sesuai dengan Undang - Undang yang berlaku

Seorang yang berpiutang memberikan pinjaman kepada yang berutang, dan yang berutang tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam membayar utang maka yang berpiutang dapat melakukan tuntutan dengan 3 cara :
- Parade Executie (melakukan perbuatan tanpa bantuan dari pengadilan yang hal ini kaitannya dengan hakim)
- reel executie ( dimana hakim memberikan kekuasaan kepada berpiutang untuk melakukan suatu perbuatan)
- Natuurelijke Verbintenis (Secara suka rela dipenuhi/dibayar)
JASA KONSTRUKSI
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dijelaskan bahwa salah satu usaha untuk meningkatkan kemampuan jasa konstruksi nasional adalah pemenuhan kontrak kerja konstruksi yang dilandasi prinsip kesetaraan kedudukan antar pihak dalam hak dan kewajiban. Dengan kesetaraan di antara para pihak di dalam kontrak diharapkan dapat terwujudnya daya saing yang andal dan kemampuan untuk menyelenggarakan pekerjaan secara lebih efisien dan efektif. Namun, dalam praktek masih diakui bahwa belum ada kesetaraan hak dan kewajiban diantara para pihak dalam suatu kontrak kerja jasa konstruksi.
Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU Jasa Konstruksi, terdapat 2 (dua) pihak di dalam suatu kontrak kerja jasa konstruksi, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa. Yang dimaksud dengan Pengguna jasa adalah: (1)orang perorang, baik warga negara Indonesia maupun asing; (2) badan usaha, baik badan hukum maupun tidak berbadan hukum, baik Indonesia maupun asing; dan (3) badan yang bukan badan usaha tapi berbadan hukum, yaitu pemerintah dan atau lembaga negara dimana pemerintah dan atau lembaga negara dengan menggunakan anggaran yang telah ditentukan baik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan yang dimaksud dengan Penyedia jasa adalah baik perorangan maupun badan usaha nasional, baik yang badan hukum maupun non badan hukum. Penyedia jasa ini di bagi ke dalam kriteria badan usaha berskala besar, menengah dan kecil. Pembagian jenis badan usaha ini dimaksudkan agar seluruh lapisan masyarakat atau swasta dapat ikut berperan serta di dalam pekerjaan di bidang jasa konstruksi ini.
Kontrak kerja jasa konstruksi pada azasnya harus dibuat dalam bentuk tertulis, karena selain ditujukan untuk pembuktian, kontrak kerja jasa konstruksi tergolong perjanjian yang mengandung resiko bahaya yang menyangkut keselamatan umum dan tertib bangunan. Dengan melihat pada fungsi dan pentingnya suatu perjanjian jasa konstruksi maka suatu perjanjian jasa konsruksi harus memenuhi ketentuan baik ketentuan-ketentuan dasar mengenai perjanjian maupun ketentuan khusus dalam jasa konstruksi. Dalam hukum perjanjian untuk sahnya suatu perjanjian/kontrak harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian (Ps. 1320 KUHPdt). Demikian pula dengan kontrak jasa konstruksi. Untuk sahnya suatu kontrak jasa konstruksi, harus memenuhi pasal 1320 KUHPdt, yaitu pihak pengguna jasa dan penyedia jasa harus sepakat, cakap dan berwenang dalam mengikatkan diri dalam parjanjian; objek perjanjian harus jelas, dan perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban dan undang-undang yang berlaku.
Di dalam azas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPdt), para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun, mengenai perjanjian apa pun dan mengenai bentuk perjanjian yang dikehendaki. Juga mengenai mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian. Pada kontrak jasa konstruksi, para pihak dapat bebas untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, meskipun pemilihan pihak penyedia jasa harus melalui proses pelelangan terlebih dahulu (pasal 17 UU no. 18 Tahun 1999). Dengan proses pelelangan terlebih dahulu, diharapkan tujuan mendapatkan penyedia jasa yang memenuhi syarat dan professional dapat dicapai.
BERLAKUNYA SUATU PERJANJIAN JASA KONSTRUKSI
Pada umumnya perjanjian mulai berlaku dimana para pihak menyatakan sepakat atas perjanjian. Dalam menuangkan kesepakatannya tersebut, para pihak bisa secara lisan atau tertulis, yaitu pada saat ditandantanganinya perjanjian. Terdapat kekhasan dari perjanjian jasa konstruksi, yaitu sebelum ditandatanganinya perjanjian, para pihak harus melalui proses pengikatan. Dengan proses pengikatan ini, para pihak dianggap telah mengikatkan diri dalam perjanjian dan apabila salah satu pihak telah lalai atau sengaja membatalkan perjanjian, maka dapat dikenakan sanksi. Dalam hal jasa konstruksi ini, pihak penyedia jasa yang memenangkan lelang atau penyedia jasa yang ditunjuk dianggap telah menyetujui perjanjian jasa konstruksi, meskipun kontrak kerjanya belum ditandatangani atau bahkan belum dibuat. Dengan diterbitkannya Surat Penetapan Pemenang Tender (SPPT) dan dilanjutkan dengan terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) maka pihak penyedia jasa harus memulai pekerjaannya. Di dalam SPMK, biasanya yang tertuang adalah perintah untuk memulai suatu pekerjaan ditambah dengan keterangan harga borongan, jangka waktu pengerjaan dan syarat pengerjaan. Hal-hal tersebut sangat umum, dan untuk hal-hal yang lebih rinci diatur di dalam perjanjian/ kontrak, yang justru seringkali memakan waktu yang lama dalam proses penyusunannya.
Berdasarkan pasal 1338 KUHPdt, para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian, namun kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian sekiranya telah hilang, karena di dalam pasal 22 UU Jasa Konstruksi telah ditentukan isi dari suatu kontrak kerja jasa konstruksi. Bentuk perjanjian jasa konstruksi yang ada adalah bentuk kontrak standar, dengan tujuan untuk menjaga agar kontrak dan pelaksanaan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pihak terutama pihak penyedia jasa tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan kontrak jasa konstruksi. Karena semua proses dari tahapan awal dari pendaftaran sampai dengan penetapan pemenang lelang semuanya telah diatur oleh undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya termasuk dalam perjanjian kontrak jasa konstruksi telah diatur dalam bentuk standar kontrak. Pihak pengguna jasa dalam hal ini terutama pemerintah dan atau lembaga negara lebih dominan untuk menentukan isi perjanjian.
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM KONTRAK JASA KONSTRUKSI
Meskipun dalam pasal 22 UU Jasa Konstruksi telah ditentukan hal-hal yang seharusnya dimuat dalam kontrak, tetapi dalam praktek hak-hak dan kewajiban para pihak masih belum seimbang, Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ketentuan-ketentuan bagi penyedia jasa. Dalam kontrak kewajiban-kewajiban penyedia jasa lebih diutamakan daripada hak-haknya.Sedangkan hak-hak pengguna jasa lebih diutamakan. Misalnya dari segi pembayaran. Di dalam kontrak pada umumnya hanya memuat tata cara pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak pengguna jasa. Namun jarang sekali yang memuat ketentuan-ketentuan bilamana pengguna jasa tidak dapat memenuhi kewajibannya, misalnya lalai dalam pembayaran. Bagaimana hak penyedia jasa dimana terdapat kesalahan dalam rencana gambar/spesifikasi sedangkan penyedia jasa dalam menjalankan pekerjaan dibatasi dengan waktu pengerjaan, Bila penyedia jasa tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai waktu atau tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan rencana gambar dan spesifikasi, penyedia jasa dikenakan sejumlah sanksi. Contoh lain adalah penyedia jasa berkewajiban dalam memberikan jaminan, terutama jaminan uang muka. Apabila jaminan uang muka tersebut tidak dapat diberikan oleh penyedia jasa, maka pengguna jasa tidak dapat melakukan pembayaran sedangkan waktu pelaksanaan pekerjaan terbatas.

http://a-life-sketch.blogspot.com/search/label/Hukum%20dan%20Hukum%20pranata%20pembangunan

UU NO 4 TAHUN 1992

Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok bagi setiap manusia,semakin pesatnya peningkatan jumlah populasi manusia berbanding lurus dengan semakin pesatnya pembangunan perumahan untuk itu perlu dibuat peraturan yang mengatur perumahan dan permukiman.Setiap orang atau badan yg membangun rumah atau pun perumahan wajib mematuhi peraturan2 yg telah dibuat negara dan mengikuti persyaratan teknis,ekologis dan administratif serta melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan.

Untuk mewujudkan permukiman yang layak,sehat,aman dan serasi serta berlandaskan pancasila,peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan perlu diupayakan. Untuk itu dibuatlah UU NO 4 TAHUN 1992 yang mengatur tentang perumahan dan permukiman. Undang-undang ini terdiri dari 42 pasal yang terbagi dalam 8 bab. Berikut ini adalah penjelasan singkat undang2 tersebut tiap bab-nya.


  • Bab kesatu,KETENTUAN UMUM (pasal 1dan 2),dalam bab ini dijelaskan mengenai rumah,perumahan,permukiman dsb dan tentang lingkup peraturan.
  • Bab kedua,ASAS DAN TUJUAN (pasal 3 dan 4) menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan permukiman.
  • Bab ketiga,PERUMAHAN ( pasal 5 s/d 17) menjelaskan aturan2 tentang hak dan kewajiban WN dalam pembangunan perumahan.
  • Bab keempat,PERMUKIMAN (pasal 18 s/d 28) menjelaskan bahwa rencana tata ruang ditetapkan oleh pemda,pemerintah memberi bimbingan dan bantuan kpd masyarakat dalam pengawasan bangunan untuk meningkatkan kualitas permukiman.
  • Bab kelima,PERAN SERTA MASYARAKAT (pasal 29) berisi tentang hak dan kewajiban yg sama bagi tiap WN dalam pembangunan.
  • Bab keenam,PEMBINAAN (pasal 30-35) menjelaskan bahwa pemerintah melakukan pembinaan agar masyarakat menggunakan teknologi tepat guna.
  • Bab ketujuh,KETENTUAN PIDANA (pasal 36-37) berisi tentang sanksi yang diterima bila melakukan pelanggaran terhadap peraturan2 di atas
  • Bab kedelapan,KETENYUAN LAIN2 (pasal 38-40) mengatur tentang pencabutan badan usaha yang melakukan pelanggaran atas pasal2 di atas

Contoh aplikasi dari UU NO 4 TAHUN 1992 :

Pada kasus 2 janda pahlawan,nenek Soetarti dan Rusmini yang terkena kasus dgn pegadaian mereka digugat dgn pasal 36 ayat 4 UU NO 4 TAHUN 1992,"setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat 1 dipidana dgn pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000" karena dituduh menempati rumah yg bukan hak miliknya.Sedangkan isi pasal 12 ayat 1,"penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik"
Kedua nenek tersebut dituntut karena menempati rumah dinas yg terletak di Jatinegara,Jakarta Timur.

http://aiseta.multiply.com/journal