Pemilikan tanah diawali dengan
munduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat Adat disebut sebagai tanah komunal
(milik bersama). Khususnya di wilayah pedesan di luar Jawa, tanah ini diakui
oleh hukum Adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun
wilayah.
Seiring dengan perubahan pola sosial
ekonomi dalam setiap masyarakat, tanah milik bersama masyarakat Adat ini secara
bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran.
Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal di dalam sistem pemilikan
komunal.
Situasi ini terus berlangsung di dalam
wilayah kerajaan dan kesultanan sejak abad ke lima dan berkembang seiring
kedatangan kolonial Belanda pada abad ke tujuhbelas yang membawa konsep hukum
pertanahan mereka.
Selama masa penjajahan Belanda,
pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu
tanah-tanah di bawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum
Belanda. Menurut hukum pertanahan kolonial, tanah bersama milik Adat dan tanah
milik Adat perorangan adalah tanah di bawah penguasaan negara.
Hak individual atas tanah, seperti hak
milik atas tanah, diakui terbatas kepada yang tunduk kepada hukum barat. Hak
milik ini umumnya diberikan atas tanah-tanah di perkotaan dan tanah perkebunan
di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh
melalui penguasaan.
Hak Hak Atas Tanah Sekarang:
Berbeda dangan politik
domein-verklaaring di masa penjajahan Belanda, dewasa ini tanah yang belum atau
tidak melekat atau terdaftar dengan sesuatu hak atas tanah di atasnya, maka
tanah tersebut adalah Tanah Negara. Di pulau Jawa, hal ini ditandai dengan tidak
terdaftarnya tanah tersebut sebagai tanah obyek pajak di Buku C Desa, atau
tercatat dalam buku Desa sebagai Tanah Negara atau GG (Government Grond).
Jenis hak-hak atas tanah dewasa ini,
adalah:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4. Hak Pakai
5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
6. Hak Pengelolaan
7. Hak Tanggungan di atas sesuatu hak
atas tanah
Peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan Hak atas Tanah:
UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agaria
UU No.3/Prp/1960 tentang Penguasaan
Benda-benda tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB)
UU No.51/1960 tantang Larangan
pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya
PP No.40/1996 tentang HGU, HGB dan HP
atas tanah
PP No.39/1973 tentang Acara penetapan
ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
Peraturan Presidium Kabinet
No.5/Prk/1965 tentang Penegasan status rumah/tanah kepunyaan badan-badan hukum
yang ditinggalkan direksi/pengurusnya (Prk.5)
Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
Keppres No.32/1979 tentang Pokok
kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak
Barat
Inpres No.9/1973 tentang Pelaksanaan pencabutan
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
Peraturan MNA/KaBPN No.1/1994 tentang
Ketentuan pelaksanaan Keppres No.55/1993
Peraturan MNA/KaBPN No.3/1999 tentang
Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas
tanah Negara
Peraturan MNA/KaBPN No.9/1999 tentang
Tatacara pemberian dan pembatalan hak atas tanah Negara dan hak Pengelolaan
Contoh kasus:
Salah satu contoh permasalahan yang
timbul menyangkut permasalahan perukiman contohnya adaah masalah permuiman di
rusun Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Rusun tersebut makin hari makin
ditinggali penghuninya karena tidak betah tinggal didalamnya,hal ii karena
sarana/fasilitas pendukung yang kurang memadai. Ditambah Perhimpunan Penghuni
Rusun (PPRS), dimana pembentukannya oleh pengembang atau manajemennya bukan
penghuni rusun.Padahal jelas-jelas namanya Perhimpunan Penghuni Rusun, mengapa
pembentukanya oleh pengembang??? bukankah seharusnya oleh penghuni rusun itu
sendiri! Bahkan terkadang mereka meminta biaya operasional yang tidak
transparan dan memberatkan penghuni rumah susun. PPRS juga tidak menyampaikan
laporan pemasukan dan pengeluaran keuangan, serta menetapkan iuran bulanan
secara sepihak tanpa terlebih dahulu menyampaikan rencana anggaran tahunan.
suatu permukiman yang dalam hal ini mencontohkan
rumah susun. Sebetulnya berperan penting dalam menjawab keterbatasan lahan yang
makin hari makin terbatas, Tetapi pembangunan rumah susun yang tidak dilengkapi
fasilitas pendukung sama saja bohong! Karena penghuni sangat membutuhkan
fasilitas tersebut. Bagaiman mungkn seseorang akan hidup nyaman aman dan
tentram kalau fasilitas pendukungnya tidak ada ataupun kurang. Contohnya saja
rumah susun yang tidak ada ruang bersamanya, contohnya seperti taman bermain
ataupun sarana olahraga yang merupakan salah satu sarana bersosialisasi. Contoh diatas menggambarkan rumah susun yang
fasilitas pendukungnya tidak memadai penghuninya dan karena Perhimpunan
Penghuni Rusun (PPRS), dimana pembentukannya oleh pengembang atau manajemennya
bukan penghuni rusun.